Tentang masalah “nation”.
(Bagian 1 – disempurnakan October 21, 2016)
Oleh Max Lane
(Maaf atas kesalahan dan ketidakjelasan Bahasa. Saya menulis ini langsung dalam Bahasa Indonesia.)
Dalam bahasa Indonesia kata “nation” biasanya diterjemahkan ‘bangsa’ atau ‘nasion’. Sebenarnya kata ini sulit dimaknai dalam situasi-situasi tertentu yang terjadi. Komunitas manusia yang namanya “nation” adalah produk berkembangnnya sistem produksi baru yang bernama kapitalisme di Eropa. Sistem produksi baru ini, yang semakin memanfaatkan teknik produksi menggunakan ilmu teknologi, melahirkan aktor sejarah baru, yaitu kaum pengusaha pemilik alat produksi baru tsb. Kelas sosial ini tidak bisa terima keterbelakangan cara berpikir kaum bangsawan dalam hampir segala hal. Mereka juga tak bisa terima Eropa terbagi2 “kerajaan”2 kecil dimana2, dgn mata uangnya sendiri, bahasanya sendiri, dan segala macam lokalisme yang lain. Kaum pengusaha ini (kaum bourjuis) membangun gerakan bertujuan mendirikan wilayah politik dan pasar yang lebih besar dan luas, dgn bahasa yang sama, dan dengan kebudayaan baru yang menolak keterbelakangan pikiran sistem feodal, baik yg berlaku di kalangan bangsawan maupun rakyat. Rakyat banyak (yg miskin sekali itu) sering juga mendukung gerakan kaum burjuis ini untuk hancurkan feodalisme dan menjadi kekuatan penting dalam prosesnya. Tetapi kemudian dikhianati oleh kaum bourjuis yg memimpinnya.
Dalam sejarah Eropa ini, yang bernama “nation” itu adalah produk berkembangnya kapitalisme dengan kaum bourjuis masing-masing nasion sebagai pelaku utama. Salah satu senjata ideologinya ke depan ialah nasionalisme yang menyatakan bahwa semua anggota komunitas nation selalu punya kepentingan dasar yang sama. Yang punya dan yang tidak punya (ada yg tidak punya karena yang punya mempunyai semua): ayo bersatu!
Dengan perkembangan baru ini dunia mulai terbagi ke dalam nation. Tetapi prosesnya sangat ribet dan kacau. Di Eropapun nation-nation tak dilahirkan begitu saja sudah utuh dengan segala sifatnya yang menandainya sebagai komunitas nation. Sifatnya ialah wilayah yang dihuni bersama oleh satu komunitas itu; ada kehidupan ekonomi bersama di dalam wilayah itu; ada bahasa bersama yang sudah berkembang sedemikian rupa bisa menjadi basis buat sebuah sastera nasional (sebagai wadah pengalaman dan ingatan komunitasnya); dan adanya sebuah psikologi sosial komunitas yang tercerminkan dalam produk-produk budayanya (sebagai basis budaya nasional). Semua hal ini berkembang melalui sejarah, kadang-kadang melalui ledakan seperti revolusi besar, kadang-kadang lebih berangsur-angsur dan kacau. Itu di Eropa.
Kalau di luar Eropa, prosesnya lebih ribet lagi.
Pertama ada kasus-kasus seperti Amerika Serikat dan Kanada. Di sani juga, seperti sering terjadi, pelaku utama ialah kaum burjuis setempat yg butuhkan negeri sendiri bebas dari kekuasaan Inggeris untuk memperkembangkan ekonomi dan masyarakat burjuisnya. Di sana juga pada awal-awalnya perjuangannya didukung oleh kerterlibatan rakyat biasa, kemudian mereka dikhianti juga. Kemudian terjadi sebuah kontra-revolusi yang cukup membasmi unsur-unsur paling radikal dan demokratis dalam prosesnya. Kontra-revolusinya terdiri dari perang membasmi kaum Amerika pribumi.
Paling super ribet semua ini dalam bagian dunia yang sempat dijajah oleh Eropa selama era kolonialisme. Di satu sisi kekuasan-kekuasaan kolonial mengatur politik dan ekonomi koloninya masing-masing seolah-olah koloni-koloni tsb adalah sebuah negeri sendiri. Ada perbatasan wilayah yang diawasi; ada peraturan ekonomi tertentu; sering ada mata uang dan perbankan sendiri; ada hukum-hukum tertentu yg berlaku di koloni tsb; kadang-kadang juga ada kebijakan bahasa untuk wilayah tsb. Kekuasaan kolonial membangun kerangka materiil, meski sangat minimal, mirip sebuah negeri sendiri. Bahkan wilayah tsb mulai memiliki kehidupan ekonomi tersendirinya, termasuk dalam hubungannya dengan wilayah lain.
Tetapi perkembangannya tidak bisa seperti di Eropa. Pertama, pelaku kekuasaan politik dan ekonomi pada tahap awal ini adalah bourjuis di negeri penjajah, seperti Belanda, Inggeris, Perancis dan Spanyol, dan bukan bourjuis di negeri yang dijajah. Perkembangan ekonomi, hukum dan bahkan bahasa tidak bertujuan membangun masyarakat di wilayah koloni tetapi bertujuan menyumbang pembangunan di Eropa. Koloni tidak perlu peneyebarluasan budaya anti-feodal, sastra nasional, ilmu pengetahuan baru, hukum demokratis apalagi penyebarluasan ilmu teknologi yg terbaru. Tidak apa-apa juga kalau budaya-budaya etnis-lokal yg terus kuat dan basis budaya luas nasional lemah: kolonialisme justeru senang.
Sebagian basis materiil (sama sekali tidak semua), yaitu sebagian infrastruktur, untuk sebuah nation memang dibangun oleh kekuatan koloni, tetapi hanya dibangun sangat-sangat minimal.
Di wilayah-wilayah koloni, seperti di Hindia Belanda/Indonesia, pelaku penciptaan sebuah nation baru terdiri dari kombinasi yang ada persamaan dengan di Eropa, tetapi juga perbedaan yang cukup besar.
Memang kelas sosial yang terdiri dari pengusaha-pengusaha dan pedagang-pedagang setempat juga berperan besar. Kelas ini yang memiliki dana dan jaringan yg bisa dimanfaatkan untuk membuat organisasi, terbitan dan lain-lain (seperti yang terjadi dengan Sarekat Islam). Tetapi di sebagian besar negeri koloni kelas ini terdiri dari pengusaha dan pedagang, yang meski ada dananya, sebenarnya masih pembisnis kecil dan jarang melayani pasar di luar distriknya sendiri. Dengan arti lain, mereka mungkin pengusaha dalam negeri (domestik) tetapi bukan pengusaha nasional, dengan arti memiliki kegiatan di seluruh wilayah yang akan menjadi nasion. Selain itu secara ekonomi-politik mereka juga menghadapi kekuatan ekonomi-politik kolonial yang modal dan resourcesnya jauh lebih besar. Oleh karena itu, mereka – seperti kaum bourjuis di Eropa yang hadapi kaum bangsawan – harus bersekutu dengan rakyat banyak, sering dengan dijembatani oleh intelektual muda yang radikal.
Bukan hanya itu. Berbeda dengan Eropa, pada akhirnya lapisan pengusaha-pedagang yang banyak tetapi kecil ini tak sanggup dan mampu memimpin sebuah gerakan untuk mengalahkan kolonialisme Eropa. Perjuangan mengusir kolonialisme membutuhkan militansi, radikalisme dan membutuhkan peran besar oleh rakyat miskin. Kaum pengusaha-pendagang tak biasa memimpin ini sampai tuntas, Akhirnya kepemimpinan pindah tangan ke intelektual muda radikal, baik yang tamatan sekolah formal maupun yang tamatan sekolah perjuangan tidak formal.
Di wilayah-wilayah kolonial, proses penciptaan sebuah nation – yang akan meninggalkan bentuk-bentuk komunitas yang ada sebelumnya – berasal dari interaksi antar dua hal ini: (1) infrastruktur “negeri sendiri” yang dibikin oleh kolonialisme dengan (2) kegiatan-kegiatan, hampir semuanya perlawanan, yang dijalanakan oleh lapisan-lapisan masyarakat setempat, terutama intelektual muda dan rakyat miskin (pekerja dan petani). Bibit-bibit sebuah budaya nasional – Bahasa, sastera, cara bertindak baru dan lain-lain dengan kekhasan-kekhasan Indonesianya – berkembang melalui pengalaman-pengalaman hasil interaksi tadi. Perlu ditekankan disini bahwa nation adalah sebuah komunitas yang dialami (experienced community). Sebuah nation sama sekali bukan sebuah “komunitas terbayang”. Teori imagined communities adalah keliru. Tentu saja di otak manusia akan muncul gambaran-gambaran sebuah nation itu seperti apa. Segala sesuatu yg dialami manusia dan kemudian bisa dipelajari atau dipikirkan memunculkan gambaran di otak, baik yang tepat maupun yang tidak. Tetapi semua adalah produk pengalaman, baik produk langsung “spontan” maupun produk pengalaman yang ditafsirkan atau dipelajari menggunakan ilmu.
Penciptaan sebuah nation berarti menciptakan sebuah komunitas yang keberadaannya stabil untuk periode waktu yang tidak sebentar; dimana sebuah Bahasa bersama berkembang terus dengan sasteranya; dengan kehidupan ekonomi sendiri yang semakin melibatkan semua anggauta komunitas itu, dan dimana terbentuk sebuah sosio-psikologi yang banyak persamaanya dengan berbagai produk budaya yang khas sendiri (lagu, ceritera, estetika dll) dan semua dalam wilayah tersendiri. Ini bukan sebuah proses yang bisa dilakukan tanpa berbagai sumber daya, baik dana, teknologi, atau ilmu pengetahuan baru. Dalam hal resources (sumber daya) ini, negeri-negeri yang pernah dijajah juga menghadapi kesulitan-kesulitan besar, Ketidak-sanggupan kelas pengusaha-pedagang memimpin pembebasan nasionalnya sejak awal menunjukkan keterbatasan resources pelaku-pelaku sejarah tersebut, seperti di Hindia Belanda – Indonesia.
Kaum intelektual muda rata-rata tak memiliki resources materiil yang serius. Resources mereka adalah bacaan (ilmu pengetahuan dan pemikiran baru) dan, untuk sebagian dari mereka, hubungan dengan rakyat banyak, apalagi rakyat banyak yang berorganisasi.
Sesudah mencapai kemerdekaan dan sudah ada sebuah pemerintah sendiri tentu saja ada resources lebih banyak. Tetapi sebagian besar koloni yang baru merdeka, resourcesnya sama sekali masih sangat kurang untuk mengatasi keterbelakangan infrastruktur ekonomi, produksi, transportasi dan pendidikan yang ditinggalkan kolonialisme. Ketika pemerintah Indonesia sudah selesai konflik militer dengan Belanda dan sudah bisa mulai memikirkan membangun negerinya pada tahun 1950, yaitu ditengah-tengah abad 20, abad atom, Indonesia tak memiliki satu pabrik modern, atau satu universitas lengkap, satu perpustakaan berstandar internasional dan bahkan sistem sekolah negeri hanya mulai dibangun pada waktu pendudukan Jepang.
Resources yang terdiri bacaan dan rakyat berorganisasi tetap kunci, meski sesudah 1950 ada tambahan lebih berdaulat terhadap sumber daya. Adalah ilmu pengetahuan dan pemikiran baru bersama rakyat berorganisasi yang bisa mengarahkan penggunaan resources untuk nation-building.
Tetapi diarahkan ke arah mana?
Memang yang bernama nation itu adalah produk dari sejarah perkembangan kapitalisme. Hanya itu saja. Sebelumnya pernah ada berbagai bentuk komunitas lainnya. Dan sesudahnya, nanti, pasti manusia akan berkomunitas lain lagi. Semua dalam sejarah ada permulaannya dan pengakhirannya. Nation bukan sesuatu yang sacral atau abadi; dan belum tentu selalu sebuah teman buat peradaban. Tetapi di zaman ini, dimana dunia masih terbagi-bagi sebagai nation-nation adalah penting semua nation ini berdaulat penuh dengan hubungan antar nation yang sama rata dan adil. Oleh karena itu, meskipun belum akan menyelesaikan masalah peradaban dan kemakmuran, penuntasan kenationan (memperkembangkan dan mempersolidkan sifat-sifat dasar sebuah nation) merupakan sesuatu yang masih harus diperjuangkan.
Selama tahun 1950-65 kehidupan politik dan sosial Indonesia memang terdiri dari pertarungan tentang arah mana nation-building di Indonesia. Pengalaman selama 15 tahun itu dan hasil pertarungannya menjadi dahsyat sekali dampaknya buat kenationan Indonesia maupun keadaan rakyatnya.
(Akan lanjut.)